Dalam tinjauan bahasa Arab, al-i’tikaf bermakna al-ihtibas (tertahan)
dan al-muqam(menetap)[1].
الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ القُرْبَةِ
Atau:
لُزُومُ الْمَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ وَالاِنْقِطَاعِ لِعِبَادَتِهِ، وَالتَّفَرُّغِ مِنْ شَوَاغِلِ الْحَيَاةِ
Menetap di masjid untuk taat dan melaksanakan
ibadah kepada Allah saja, serta meninggalkan berbagai kesibukan dunia.[3]
Hukum dan Dalil
Disyariatkannya I’tikaf
Hukumnya sunnah, dan sunnah muakkadah di
sepuluh hari terakhir Ramadhan.[4]
I’tikaf menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar untuk melakukannya.
Dalil-dalilnya:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan
Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf,
yang ruku’ dan yang sujud”. (Al-Baqarah (2): 125).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Nabi Muhammad
saw selalu i’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun
wafatnya, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari).
قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ [رواه البخاري ومسلم]
Aisyah ra berkata: Rasulullah saw melakukan
i’tikaf di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) sampai Allah mewafatkan
beliau. Kemudian para istrinya melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf seorang istri
harus seizin suaminya.
Tujuan dan Manfaat
I’tikaf
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa tujuan
disyariatkannya i’tikaf adalah agar hati terfokus kepada Allah saja, terputus
dari berbagai kesibukan kepada selain-Nya, sehingga yang mendominasi hati
hanyalah cinta kepada Allah, berdzikir kepada-Nya, semangat menggapai kemuliaan
ukhrawi dan ketenangan hati sepenuhnya hanya bersama Allah swt. Tentunya tujuan
ini akan lebih mudah dicapai ketika seorang hamba melakukannya dalam keadaan
berpuasa, oleh karena itu i’tikaf sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan
khususnya di sepuluh hari terakhir.[5]
Adapun manfaat i’tikaf di antaranya adalah:
1. Terbiasa
melakukan shalat lima waktu berjamaah tepat waktu.
2. Terlatih
meninggalkan kesibukan dunia demi memenuhi panggilan Allah.
3. Terlatih
untuk meninggalkan kesenangan jasmani sehingga hati bertambah khusyu’ dalam
beribadah kepada Allah swt.
4. Terbiasa
meluangkan waktu untuk berdoa, membaca Al-Quran, berdzikir, qiyamullail, dan
ibadah lainnya dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
5. Terlatih
meninggalkan hal-hal yang tidak berguna bagi penghambaannya kepada Allah swt.
6. Memperbesar
kemungkinan meraih lailatul qadar.
7. Waktu
i’tikaf adalah waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah dan bertaubat kepada
Allah swt.
Rukun I’tikaf
1. Mu’takif
(orang yang beri’tikaf) ((المُعْتَكِفُ
2. Niat (النِّيَّة)ُ
3. Menetap
(اللُّبْثُ).
Tidak ada batasan minimal yang disebutkan oleh Al-Quran maupun Hadits tentang
lamanya menetap di masjid. Namun untuk i’tikaf sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan waktu i’tikaf yang ideal dimulai pada saat maghrib malam ke-21 sampai
maghrib malam takbiran.
4. Tempat
i’tikaf (المُعْتَكَفُ فِيهِ)
Syarat I’tikaf
1. Syarat
yang terkait dengan mu’takif : beragama Islam, berakal sehat, mampu membedakan
perbuatan baik dan buruk (mumayyiz), suci dari hadats besar (tidak junub, haid,
atau nifas).
2. Syarat
yang terkait dengan tempat i’tikaf : masjid yang dilakukan shalat Jumat dan
shalat berjamaah lima waktu di dalamnya agar mu’takif tidak keluar dari tempat
i’tikafnya untuk keperluan tersebut.
Yang Membatalkan I’tikaf
1. Kehilangan
salah satu syarat i’tikaf yang terkait dengan mu’takif.
2. Berhubungan
suami istri sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah
kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.
(Al-Baqarah (2): 187)
3. Keluar
dengan seluruh badan dari tempat i’tikaf, kecuali untuk memenuhi hajat (makan,
minum, dan buang air jika tidak dapat dilakukan di lingkungan
masjid).Mengeluarkan sebagian anggota badan dari tempat i’tikaf tidak
membatalkan i’tikaf sesuai dengan ungkapan ‘Aisyah ra:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُخْرِجُ رَأْسَهُ مِنَ الْمَسْجِدِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Nabi
Muhammad saw mengeluarkan kepalanya dari masjid (ke ruangan rumahnya) saat
beliau i’tikaf lalu aku mencucinya sedang aku dalam keadaan haid. (HR.
Bukhari).
Adab atau hal yang harus
diperhatikan oleh Mu’takif
1. Selalu
menghadirkan keagungan Allah di dalam hati sehingga niatnya terus terjaga.
2. Menyibukkan
diri dengan amal yang dapat mencapai tujuan i’tikaf.
3. Bersahaja
dan tidak berlebihan dalam melakukan perbuatan mubah seperti makan, minum,
berbicara, tidur dan hal-hal lain yang biasa dilakukan di luar masjid.
4. Menjauhi
amal perbuatan yang dapat merusak tujuan i’tikaf seperti pembicaraan tentang
materi (jual beli, kekayaan dan lain-lain).
5. Memelihara
kebersihan diri dan tempat i’tikaf serta menjaga ketertiban dan keteraturan
dalam segala hal.
6. Tidak
melalaikan kewajiban yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya, seperti nafkah
untuk keluarga, menolong orang yang terancam keselamatannya, dan lain-lain.
Wallahu’alam
Catatan Kaki:
[1]
At-Ta’rifat karya ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali Asy-Syarif Al-Husaini Al-Jurjani
atau sering disebut dengan Al-Jurjani.
[4]
Sunnah muakkadah ialah sunnah yang sangat dianjurkan karena hampir tidak pernah
ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
sumber: al ikhwan
gambar : google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar