Jika ia permata, maka ialah permata dunia yang paling terang cahayanya. Sebab pada dirinyalah segala kemuliaan bermuara. Dunianya adalah surga. Akhiratnya juga surga. Sungguh, jika ia permata, ialah permata yang paling berharga. Ketegarannya, kesucian dan kelembutan hatinya, keikhlasannya, menjadikan ia pemimpin para wanita di surga.
Pernah suatu hari datang seorang muallaf Yahudi yang baru saja masuk Islam. Muallaf itu ditemani Salman al Farisi mencari muslim dermawan yang berkenan menolong ia yang lapar. Jauh berjalan tak kunjung ada yang memberinya makan. Hingga sampailah mereka di rumah wanita mulia itu. Salman tahu wanita itu juga kekurangan. Ia pun hendak berlalu dari tempatnya. Namun kedermawanan si wanita melampaui himpitan yang ia rasa. Diambilnya kain dari dalam rumahnya. Diberikannya pada Salman untuk dijual lalu ditukar dengan bahan pangan.
Sekembalinya Salman, wanita itu sendiri yang kemudian menggiling jagung yang dibawanya. Ia sendiri yang berpeluh-peluh mengolah tepung jagung itu, membentuk dan memanggangnya hingga menjadi beberapa buah roti. Ketika roti itu telah siap, dikemasnya dan diberikannya semua pada mualaf tadi. Mengetahui kesulitan hidup wanita itu, Salman pun bertanya mengapa tidak disisakannya barang sedikit untuk keluarganya. Maka dengan cahaya yang terpancar dari wajahnya, wanita mulia itu pun menjawab, “Tidak berhak aku mengambil bagian dari apa yang telah kuberikan di jalan Alloh.”Subhanalloh! Si mualaf pun terharu dan menangis. Makin kuatlah keimanannya.
Dalam kehidupannya yang serba sulit, nuansa keimanan dan kesabaran tak pernah luput dari sisinya. Meski ditinggal ibunya sejak remaja, lantas ditinggal pula oleh ketiga saudarinya, ia justru semakin kuat dan bahkan menguatkan ayahnya tercinta. Betapa ia menjadi pelipur lara ayahandanya dari berbagai tentangan. Betapa ia berharap seandainya mampu menjadi tebusan baginya dan mencegahnya dari penganiaayaan kaum kafir durjana. Meski lemah tubuhnya. Meski besar duka di hatinya. Yang ia tahu hanyalah, bahwa ia harus melakukan yang terbaik dari yang ia bisa, untuk Alloh, untuk agamaNYA.
Dan dialah Assidiqah itu. Dialah Athahirah. Dialah Fatimah Az Zahra, bunga yang semerbak wanginya dan bercahaya wajahnya, putri kesayangan manusia paling mulia. Meski kita tak bisa bertemu beliau di dunia, mari berazzam untuk bisa berjumpa dengannya di surga. Tentunya dengan menjadikan diri kita muslimah yang sholeha lagi mulia, yang bercahaya seperti dirinya. [SKC]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar