Tokoh Ikhwan
6/11/2009 | 18 Dhul-Qadah 1430 H | 7.224 views
Oleh: Al-Ikhwan.net
Jika kita membicarakan salah satu tokoh diantara tokoh ummat yang pernah hidup dalam perjalanan sejarah, kita akan menemukan persamaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Persamaan itu dapat kit ambil titik temunya, mereka adalah orang-orang yang memiliki: Quwwatur-ruh, dan Quwwatul qalb.
Dengan kekuatan ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki.
Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.
Rasulullah saw pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang banyak dikutip dalam buku-buku sirah, ketika para sahabat menceritakan kepribadian Umar ra, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِي أُمَّتِي هَذِهِ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّاب
“Sesungguhnya pada setiap ummat ada orang yang mendapatkan ilham (muhaddits). Sesungguhnya jika di dalam ummatku ada muhaddits, maka dia adalah Umar”. (Ahmad dan Bukhari)
Jika kita membaca sejarah hidup Umar ra, kita akan menemukan bahwa beliau adalah orang yang memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah ilham yang dimilikinya. Suatu ketika, saat beliau berdiri di mimbarnya, Allah memperlihatkan kepadanya perjalanan pertempuran antara Sariyyah dan Romawi, dari jarak ratusan, bahkan ribuan mil, Umar memerintahkan: “Wahai Sariyyah, berlindunglah ke balik gunung, berlindunglah ke gunung”. Para sahabat yang mendengar kebingungan, tapi diantara mereka tidak ada yang berprasangka bukan-bukan terhadap Umar. Ketika Sariyyah pulang dari pertempuran dengan membawa kemenangan, mereka bertanya: “Apakah kalian mendengar seruan Umar?”. Kata Sariyyah: “Kami mendengar dan kami mentaatinya”.
Dalam kesempatan lain, dalam kesendiriannya, Umar berkata: “Barang siapa dari keturunanku nanti memiliki luka di wajahnya, dia akan meramaikan dunia dengan keadilannya”. Ketika Umar bin Abdul Aziz lahir, di wajahnya tidak ada luka. Tapi ketika ia masih kecil, dia pernah terluka di wajahnya ketika sedang bermain-main. Ini sekaligus sebagai bukti kebenaran Ilham Umar ra.
Ketika Abdul Aziz bin Marwan (Bapaknya Umar bin Abdul Aziz) melihat hal itu, ia mengatakan: “Kalau engkau adalah orang yang diungkapkan oleh kakekmu dulu, engkaulah pemakmur dunia ini dengan keadilan”. Kebenaran ini terbukti kemudian.
Tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah. Meskipun ia hanya menjabat sebagai khalifah selama dua tahun lima bulan, namun hasil kekhalifahannya terlihat jelas.
Dalam kitab Hayatush-Shahabah disebutkan, ketika Umar menjadi khalifah, adalah seorang pemuda yang menjadi rakyatnya yang setiap shalat digoda oleh wanita cantik untuk berbuat serong. Lama kelamaan ia tergoda dan melakukan perbuatan serong. Ia menyesal dan kemudian meninggal. Ketika Umar tidak melihat pemuda ini dalam jama’ah shalat, bertanyalah Umar tentang pemuda ini. Diceritakanlah kisah tentang pemuda itu. Karena kematiannya berada di tempat orang yang hanya pemuda itu dan si wanita, segeralah pemuda itu dikuburkan tanpa memberitahu orang lain. Ketika Umar ra mengetahui, ia bertanya: “Mengapa kalian lakukan yang demikian?”. Kemudian Umar ra ingin bicara langsung dengan pemuda itu. Umar ra kemudian mendatangi kuburan pemuda itu.
Dalam sejarah kita menemukan pula kejadian serupa dalam diri imam Syafi’i. Beliau adalah orang yang mendapatkan ilham. Muridnya yang empat: Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Al Buwaithi, Al Muzani dan Ibnu Abdil Hakam, sebelum meninggal mengungkapkan kepada murid-muridnya tersebut, kamu akan menjadi ini, kamu akan menjadi ini dan sebagainya. Semua ucapan imam Syafi’i ini kemudian terbukti kebenarannya.
Pada dasa warsa ini, salah satu tokoh yang insya Allah mendapatkan ilham adalah asy-syahid imam Hasan Al Banna rahimahullah.
Kalau kita membaca buku Ikhwanul Muslimin; Ahdats Shana’at-Tarikh, kiat akan melihat bahwa perjalanan awal asy-syahid Sayiid Qutub, kelasnya selevel dengan “Nurcholis group”. Saat itu di Mesir terbit majalah sastra yang menjadi ajang pertemuan 20 sastrawan. Salah satu kubunya adalah para tokoh aliran sastra bebas yang dikomandani oleh Abbas Mahmud Al Aqqad, dan kubu lainnya adalah sastrawan muslim yang dikomandani oleh Musthofa Shadiq Ar-Rafi’i.
Sayyid Qutub adalah murid pilihan Al Aqqad. Ketika Musthofa meninggal, Al Aqqad naik, karena tidak ada saingan, murid-muridnya diberi rangsangan untuk menulis.
Dalam sebuah surat kabar mingguan, Sayyid Qutub menulis makalah di mana dia menyerukan kepada para wanita muslimah untuk membuka auratnya, karena menutup aurat dianggap olehnya sebagai penghambat kemajuan wanita.
Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna. Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisan kamu, tapi saya memiliki perasaan lain tentang orang ini, berilah beberapa pertimbangan:
Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna. Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisan kamu, tapi saya memiliki perasaan lain tentang orang ini, berilah beberapa pertimbangan:
Pertama: Dia masih muda, dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari lingkungannya.
Kedua: Anak muda biasanya menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid Qutub oleh Imam Al Banna dinilai sebagai upaya mencari eksistensi diri.
Ketiga: karena dia masih muda, kita masih memiliki harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul beban da’wah.
Pertimbangan yang lain, kata Imam Al Banna, dia (Sayyid) menulis di surat kabar yang tidak terlalu terkenal di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya tidak terlalu menarik perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau ditulis oleh seorang pemula yang belum memiliki nama. Kalau kita menanggapinya, orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin mengetahuinya, dan orang-orang yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang kembali membacanya untuk mengenali muatan tulisan tersebut. Tujuan anak muda ini menulis adalah untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan itu akan menaikkan dan mengangkat namanya. Imam Al Banna berkata lagi: “Kalau kita bantah tulisan itu, kita berarti menutup kesempatan diri pemuda itu untuk bertobat karena orang cenderung untuk membela diri jika kesalahannya diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau kekeliruannya. Dengan demikian, kalau tanggapan itu kita lakukan, berarti kita telah menutup kesempatan bertaubat bagi dirinya”.
Akhirnya Imam Al Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku tentang orang ini, akan tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”.
Ustadz Mahmud setuju untuk meninjau kembali rencana pengiriman tulisan itu, sehingga akhirnya tulisan itu tidak jadi dikirim.
Dan pada akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al Banna, sebab pada akhir perjalanan hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban da’wah dan iapun bergabung dengan jama’ah ini.
Hal itu merupakan bagian dari firasat seorang mukmin yang dimiliki oleh Imam Al Banna.
Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti perjalanan beliau sejak kecil hingga beliau meninggalkan dunia yang fana ini.
Imam Al Banna dilahirkan sama dengan tahun dilahirkannya Sukarno, yaitu tahun 1906 M, di suatu wilayah yang bernama Al Mahmudiyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang gemar kepada ilmu. Ayahnya seorang ulama yang bernama Asy-Syekh Ahmad bin Abdur-Rahman As-Sa’ati, seorang tukang jam. Meskipun seorang tukang servis jam, namun beliau juga seorang ulama. Diantara karya besarnya adalah menertibkan kitab hadits musnad Imam Ahmad sesuai dengan urutan tema fiqih, kitab itu diberi nama Al Fathu Ar-Rabbani fi Tartibi Musnadil Imami Ahmad Asy-Syaibani.
Ketika kecil beliau mendapatkan pendidikan di Madrasah Ar-Rosyad Ad-Diniyyah yang diasuh oleh Asy-Syekh Az-Zahroni. Disekolah SD itulah beliau menghafal Al Qur’an sebanyak setengah Al Qur’an atau kurang lebih 15 juz. Rupanya sekolah ini tidak lama umurnya, karena Asy-Syekh Az-Zahrani ditarik oleh departemen pendidikan di sana, dan bubarlah sekolahan itu.
Beliau kemudian melanjutkan sekolahnya di Al I’dadiyyah. Disana beliau membagi waktunya menjadi empat bagian: belajar di pagi hari, kemudian sepulang sekolah beliau belajar memperbaiki jam hingga sore hari, dan di malam harinya beliau mempersiapkan diri untuk sekolah besok paginya, dan pagi harinya setelah shalat Shubuh, beliau menghafalkan Al Qur’an. Dengan kebiasaan inilah beliau hampir menamatkan hafalan Al Qur’annya.
Setelah tamat di Al I’dadiyyah, Hasan Al Banna kecil melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Al Mu’allimin Al-Awwaliyyah di Damanhur. Disana beliau tamat menghafalkan Al Qur’an. Madrasah Al Mu’allimin ini adalah sekolah yang di sini setingkat dengan SPG atau SMU. Setelah itu beliau mendapatkan dua peluang belajar, di Al Azhar atau di Darul ‘Ulum. Kalau melanjutkan di Darul ‘Ulum ia akan menjadi guru. Dan kalau di Al Azhar beliau bisa melanjutkan dan biasanya menjadi ulama besar. Namun beliau lebih memilih Ma’had Darul ‘Ulum program diploma tiga tahun. Lalu pindahlah beliau ke Kairo.
Pada masa mudanya –bahkan sejak masih duduk di bangku SD- Hasan Al Banna tertarik kepada salah satu tarekat yang memang tumbuh menjamur pada masa itu. Tarekat yang diminatinya bernama tarekat Al Hashafiyyah, yang didirikan oleh seorang ulama besar bernama Syekh Al Hasanain Al Hashafi, seorang tamatan Al Azhar.
Dalam buku yang ditulis oleh Imam Al Banna; Mudzakkiratud-Da’wahwah Wad-Da’wahiyah, disebutkan, tarekat yang didirikan oleh Syekh Al Hashafi berbeda dengan tarekat-tarekat lain yang ada pada masa itu. Syekh Al Hashafi selalu gemar menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Al Banna bercerita tentang Syekh Al Hashafi, meskipun beliau belum pernah bertemu langsung dengannya. Kata beliau, pada saat berkunjung kepada Syekh Khudhari Bik, seorang penguasa Mesir, beliau menyampaikan salam yang kemudian dijawab oleh Hudhari Bik dengan isyarat. Dengan berang Al Hashofi mengatakan:
رَدُّ السَّلاَمِ وَاجِبٌ، وَلاَ يَكْفِي بِاْلإِشَارَةِ
Menjawab salam hukumnya wajib dan tidak cukup dengan isyarat.
Akhirnya Khudhari Bik malu sendiri dan menjawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kemudian ketika beliau diundang oleh seorang perdana menteri Mesir bersama ulama-ulama yang lain, beliau melihat ulama-ulama tersebut menundukkan kepala kepada perdana menteri karena mengikuti seorang ulama yang menundukkan kepalanya kepada sang perdana menteri itu. Ketika melihat hal itu syekh Al Hashafi memukul dan berkata kepada para ulama itu:
يَا هَذَا! اَلرُّكُوْعُ للهِ فَقَطْ، وَلاَ يَحِلُّ الرُّكُوْعُ لِلنَّاسِ!
Wahai orang ini! Ruku’ itu hanya untuk Allah semata, dan tidak halal ruku’ kepada manusia!
Inilah diantara kisah kepribadian Syekh Hasanain Al Hashafi yang membuat Hasan Al Banna tertarik kepadanya dan ingin berhubungan lebih jauh dengan tarekat yang didirikannya.
Beliau mengikuti tarekat Al Hashafiyah semasa dipimpin oleh putra Syekh Hasanain Al Hashafi, namanya syekh Abdul Wahhab bin Hasanain Al Hashafi.
Diceritakan oleh Imam Al Banna bahwa syekh Abdul Wahhab tidak sekeras dan setegas bapaknya. Namun beliau orang bersih, lurus dan dikenal sebagai ahli suluk, yaitu orang yang ibadahnya tidak diragukan lagi.
Beliau juga bisa dikatakan sebagai orang yang mulham.
Suatu ketika beliau bersama seorang sahabatnya yang bernama Ahmad Affandi As-Sakari bertemu dengan syekh Abdul Wahhab, beliau mengatakan kepada keduanya:
أَنَّنِيْ أَتَوَسَّمُ أَنَّ اللهَ سَيَجْمَعُ عَلَيْكُمُ الْقُلُوْبَ وَيَنْضَمُّ عَلَيْكُمْ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ، فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَوْقَاتِ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ سَيَجْتَمِعُوْنَ عَلَيْكُمْ، أَفَدْتُمُوْهُمْ فِيْهَا، وَيَكُوْنُ لَهُمْ الثَّوَابُ، وَلَكُمْ مِثْلُهُمْ، أَمْ اِنْصَرَفَتْ هَبَاءً فَيُؤَاخَذُوْنَ وَتُؤَاخَذُوْنَ.
Aku melihat dari wajah kalian bahwa Allah swt akan menghimpun hati manusia kepada kalian dan Allah akan menyatukan mereka kepada kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah swt akan bertanya kepada kalian atas waktu mereka yang berkumpul kepada kalian itu, apakah kalian memberikan kepada mereka manfaat dan tentunya mereka akan mendapat pahala dan demikian pula kalian, atau waktu mereka itu hilang percuma, maka mereka akan dimintai pertanggung jawaban dan demikian pula kalian.
Inilah yang diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahhab kepada Hasan Al Banna dan Ahmad Affandi As-Sakari.
Dari pengalamannya di tarekat inilah beliau mulai berorganisasi dengan membentuk satu organisasi yang diberi nama Jam’iyyah Al Khairiyyah Al Hashafiyyah. Dalam organisasi ini yang menjadi ketuanya adalah Ahmad Affandi As-Sakari –yang nantinya dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin dia menjadi wakil- dan yang menjadi sekretarisnya adalah Hasan Al Banna.
Aktifitas organisasi ini ada dua:
1. Menyebarkan da’wah kepada akhlaq yang mulia dan memerangi berbagai kemunkaran dan hal-hal yang diharamkan dan tersebar luas di masyarakat, seperti: judi, minuman keras, dan bid’ah-bid’ah yang ada pada perayaan-perayaan.
2. Menghadapi propaganda missi Zending Kristen yang ada di Mesir pada waktu itu.
Dalam buku Mudzakkirotud-Da’wah Wad-Da’iyah Imam Al Banna menceritakan, beberapa kantor IM berdampingan dengan kantor-kantor missi kristenisasi.
Dan kita lihat pula dalam kitab fi qafilatil Ikhwan Al Muslimin yang ditulis oleh Ustadz Abbas As-Sisi, foto-foto yang ada dalam buku tersebut menggambarkan betapa jama’ah ini memiliki toleransi dengan orang-orang palangis itu. Hasan Al Hudhaibi, mursyid am kedua misalnya, dalam foto-foto itu bergambar berdampingan dengan pembesar Kristen Qibti. Hal itu menandakan bahwa jama’ah ini sejak pertama tidak melupakan peran sosialnya kepada orang Nasrani yang merupakan bagian dari ummat manusia.
Setelah beliau selesai dari Mu’allimin Al Awwaliyyah dan setelah beliau memilih Darul ‘Ulum sebagai sekolah kelanjutannya, beliau terpaksa harus berpisah dengan keluarga dan sahabat yang dicintainya. Disana, di Kairo, beliau hidup sendirian dan tidak mengandalkan kiriman wesel dari orang tuanya, beliau benar-benar mandiri. Karena kemandiriannya ini, beliau menjadi sangat sibuk, sampai-sampai ketika menjelang ujian masuk Darul ‘Ulum beliau tidak sempat belajar.
Dalam kitab Ahdats Shana’at-Tarikh Imam Al Banna bercerita: Di malam ujian itu beliau melakukan shalat tahajjud seperti biasanya, dan memohon serta mengadu kepada Allah swt. Dalam do’anya beliau berkata: “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau tahu betapa rindunya diriku kepada ilmu dan betapa cintaku kepada-Mu, tapi Engkau juga tahu betapa sibuknya diriku dalam mencari ma’isyah untuk mempertahankan hidup di kota ini, berilah jalan keluar bagiku”.
Beliau akhirnya tertidur malam itu dan bermimpi kedatangan seseorang yang membawa buku dan membuka-buka buku itu dan dia turut membuka dan membacanya. Ketika ujian tiba, ternyata apa yang dia baca dalam mimpi itulah yang diujikan esok harinya.
Beliau lulus dan mendapatkan nilai istimewa. Ini juga salah satu tanda bahwa beliau termasuk seorang yang Muhaddats, Mulham karena kebersihan dan ketaqwaannya, insya Allah.
Beliau selanjutnya belajar di Darul ‘Ulum dengan lancar. Selain mencintai Al Qur’an dan As-Sunnah, beliau juga menyenangi syi’ir-syi’ir Arab. Setiap mendapatkan syi’ir beliau mencatatnya hingga buku-bukunya tentang syi’ir bertumpuk.
Ketika ujian kelulusan dari Darul ‘Ulum, saat tes lisan, beliau bawa buku-buku itu. Salah satu dari dua orang penguji bertanya tentang apa yang dihafalnya dari syi’ir-syi’ir itu. Dia menjawab: “Semuanya aku hafal”. Yang satunya lagi bertanya: “Bait mana yang paling engkau senangi dari syi’ir-syi’ir itu? Al Banna mengatakan: “Bait Syi’ir yang diucapkan oleh Thorfah bin Al ‘Abd, salah seorang penyair di zaman jahiliyyah.
إِذَا الْقَوْمُ قَالُوْا مَنْ فَتَى؟ خِلْتُ أَنَّنِيْ عُنِيْتُ فَلَمْ أَكْسَلْ وَلَمْ أَتَبَلَّدِ
Bila orang bertanya : “Siapa pemuda? Saya membayangkan akulah yang dimaksud, karenanya, saya tidak bermalas-malas dan tidak membodohi diri.
Mendengar jawaban itu, sang penguji mengatakan: “Wahai anakku, dengan demikian aku nyatakan engkau lulus dari Darul ‘Ulum, dan yang memiliki jawaban seperti ini hanya engkau dan ustadz Muhammad Abduh. Aku melihat bahwa engkau akan memiliki masa depan yang gemilang”.
Ada syi’ir lain yang selalu beliau kumandangkan, yaitu:
قَدْ رَشَّحُوْكَ لأَمْرٍ لَوْ فَطِنْتَ لَهُ فَارْبَأْ بِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الْهَمَلِ
Orang-orang telah mencalonkan kamu untuk suatu urusan, kalau saja kamu tahu. Maka jagalah dirimu jangan sampai engkau termasuk orang-orang yang lalai.
Beliau lulus dari Darul ‘Ulum tahun 1926 M dan langsung memilih mengajar di sebuah SD di Isma’iliyyah. Ketika beliau hidup di tengah masyarakat, mulailah beliau berkomunikasi dan berbaur dengan masyarakat dan mendekati tokoh-tokoh agama.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan, beliau berkumpul bersama tokoh-tokoh ulama di rumah salah seorang ulama senior yang bernama syekh Yusuf Ad-Dajawiy. Di masa itu, orang-orang sosialis komunis, kapitalis dan palanis telah merajalela dalam pengrusakan ummat, sehingga kemungkaran tersebar ke mana-mana. Dalam kesempatan tersebut Hasan Al Banna mengutarakan keresahan hatinya dan meminta para ulama itu untuk melakukan sesuatu demi amar ma’ruf nahi munkar. Jawaban syekh Yusuf pada waktu itu: “Sesungguhnya Allah swt tidak membebani seseorang yang melebih kemampuannya”.
Mendengar jawaban seperti itu Hasan Al Banna tidak puas, ia kemudian berkata: “Wahai Syekh! Andaikan ucapan ini diucapkan oleh selain anda, mungkin kami bisa menerimanya, tapi bila anda yang mengucapkannya, maka sulit bagi kami untuk menerimanya. Ucapan ini terkesan lebih merupakan pembelaan diri, sementara tidak ada sesuatu-pun yag anda lakukan untuk membendung kemungkaran ini”.
Rupanya ucapan Hasan Al Banna ini membuat marah hadirin yang lain. Tapi Al Hamdulillah beliau didukung oleh salah seorang hadirin yang bernama Syekh Bik Kamil. Hasan Al Banna sebenarnya baru pertama kali bertemu dengan syekh Ahmad Bik Kamil ini, namun karena pembelaannya yang tepat pada waktunya itu –di saat Al Banna dalam posisi tersudut- membuat Al Banna tertarik kepadanya dan berharap dapat berjumpa kembali dengannya pada masa yang akan datang.
Karena pembicaraan itu terus berkepanjangan, sementara mereka yang hadir juga diundang di majlis yang lain, maka syekh Yusuf mengajak tamu-tamunya untuk pergi. Hasan Al Banna yang sebenarnya tidak diundang untuk acara tersebut, ikut pula bersama mereka. Mereka semua berkunjung ke rumah salah seorang ulama yang bernama syekh Muhammad Sa’ad.
Di rumah syekh Muhammad Sa’ad, Hasan Al Banna sengaja memilih tempat duduk persis di sebelah syekh Yusuf yang merupakan ulama yang dituakan, agar perhatian turut pula ditujukan kepadanya. Benar saja, tuan rumah tidak lama kemudian bertanya kepada syekh Yusuf tentang pemuda yang ada di sebelahnya, yang tidak lain adalah Hasan Al Banna, yang saat itu usianya baru 21 tahun.
Di rumah syekh Sa’ad mereka disuguhi aneka makanan lezat. Melihat semuanya itu, Hasan Al Banna merasa panas dan tidak senang hatinya. Beliau kemudian berkata: “Apakah kalian kira Allah swt tidak akan menghisab kalian dengan apa yang kalian perbuat seperti ini? Jika kalian tahu bahwa Islam memiliki ulama-ulama selain kalian, tolong tunjukkan aku kepada mereka, mungkin aku akan mendapatkan sesuatu dari mereka yang tidak aku dapatkan pada kalian!”
Mendengar ucapan Hasan Al Banna ini, syekh Sa’ad menangis, lalu ia berkata: “idzan, madza af’al (kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?) jawab Al Banna: Masalah ummat ini adalah masalah yang berat. Sebagaimana mereka menyerang ummat ini dengan tulisan-tulisan, kita hadapi pula tindakan mereka dengan tulisan, kalian adalah ulama-ulama besar dan memiliki hubungan yang luas. Kumpulkan orang-orang kaya untuk menyokong dana dan kalian para ulama menyiapkan tulisan-tulisan untuk menghadapi serangan mereka”.
Mendengar jawaban Hasan Al Banna, syekh Sa’ad segera memerintahkan untuk menyingkirkan makanan dan minuman, dan kemudian mengambil pena dan kertas. Malam itu juga mereka menginventarisir siapa ulama yang harus mereka hubungi untuk membuat tulisan dan siapa orang-orang kaya yang akan dimintai bantuan dananya.
Kelompok ini pada saat itu agak berseberangan jalan dengan kelompok syekh Rasyid Ridha dan kawan-kawannya. Pada malam itu syekh Sa’ad memerintahkan pula untuk melibatkan syekh Rasyid Ridha dkk. Diantara yang hadir mengatakan: “Bukankah mereka berbeda (tidak sefikrah) dengan kita? Jawab syekh Sa’ad: “Masalah sekarang ini lebih besar daripada masalah yang kita perselisihkan selama ini, lupakan semua perbedaan itu dan kita cari apa yang kita sepakati”.
Dari pertemuan inilah kemudian berdiri satu jam’iyyah, yaitu: Jam’iyyah Syubbanul Muslimin.
Tidak lama setelah itu terbitlah majalah Syubbanul Muslimin yang bernama Al Fath Al Islami.
Hasan Al Banna sebelumnya, semasa di Kairo, selain belajar, beliau juga aktif berda’wah. Ketika di Al Isma’iliyyah, beliau kembali melakukannya. Beliau mendatangi kedai-kedai kopi. Da’wah beliau begitu indahnya. Meskipun hanya beberapa menit saja, mampu mengundang sempati orang-orang yang kurang terpelajar.
Suatu ketika datanglah beberapa orang kepada Hasan Al Banna. Mereka berkata: “Wahai Ustadz! Kami sudah tidak sabar. Kami hanyalah orang yang tidak mengerti apa-apa, hendak engkau bawa kemana-pun kami, kami akan ikuti. Sekarang, apa yang harus kami lakukan?
Dari pembicaraan-pembicaraan seperti ini, kemudian pada bulan Maret 1928 M terjadilah pembai’atan pertama dalam sejarah jama’ah ini. Ada enam orang yang berbai’at, yaitu:
1. Hafizh Abdul Halim. 2. Ahmad Al Hushari. 3. Fuad Ibrahim. 4. Abdur-Rahman Hasbullah. 5. Isma’il Izz, dan 6. Zakkiy Al Maghribi.
Setelah keenam orang ini berbai’at, salah seorang diantaranya bertanya: “Sekarang kita sudah berkumpul, hendak kita namakan apa kelompok kita ini? Apakah kita perlu membentuk organisasi atau klub atau salah satu tarekat atau yang lainnya dan kita mengambil bentuk yang formal?
Hasan Al Banna menjawab: “Sesungguhnya kita tidak termasuk yang ini atau yang itu dan kita tidak terlalu peduli masalah formal seperti ini. Hendaknya kita menjadikan awal dan dasar pertemuan ini karena kesamaan fikrah, perasaan dan kesamaan untuk beramal. Kita bersaudara dalam berkhidmah kepada ummat Islam. Berarti kita adalah Ikhwanul Muslimin”. Sejak itulah istilah Ikhwanul Muslimin digunakan.
Ada beberapa sisi lain dari kehidupan Hasan Al Banna yang dapat kita pelajari. Diantaranya adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud ketika beliau berjumpa dengan seorang ulama Al Azhar yang dikenal dengan sebutan Hakimul Islam, yaitu: Syekh Thanthawi Jauhari. Beliau adalah seorang ulama yang berusaha menggabungkan ilmu qauli dengan ilmu kauni, salah seorang ulama tafsir, kitab tafsirnya bernama: Al Jawahir. Dalam usianya yang sudah tua, beliau rela dipimpin oleh seorang yang masih muda dan hanya sebatas guru SD. Padahal beliau adalah syekh yang dituakan dan ulama terkenal.
Kata Ustadz Abdul Halim, ketika beliau sedang menulis Arjuzah di kantor Ikhwanul Muslimin, saat itu beliau sedang sendirian, datanglah syekh Thanthawi menjumpainya. Sebelumnya Ustadz Abdul Halim sempat berharap dapat bertemu langsung dengan syekh Thanthawi dan berbicara secara khusus, dan Al Hamdulillah Allah swt mengabulkannya.
Syekh Thanthawi bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis? Dijawab oleh ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis syi’ir yang dipesankan oleh Imam Hasan Al Banna”. Syi’ir itu kemudian dibaca oleh syekh Thanthawi dan beliau kemudian meminta ustadz Abdul Halim membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya lulusan teknik dan bukan lulusan syari’ah serta tidak memahami cara membaca syi’ir, kemudian membaca syi’ir itu. Kata syekh Thanthawi: “Bukan begitu cara membaca syi’ir”. Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada bagian yang keliru saya baca? Jawab syekh Thanthawi: “Tidak, tidak ada satupun bagian yang keliru, akan tetapi bukan begitu cara membaca syi’ir”. Kemudian syekh Thanthawi menambahkan lagi: “Dulu, di masa jahiliyyah, ada sebuah pasar bernama Ukazh, di sana orang-orang jahiliyyah mengambil syi’irnya, seandainya syi’ir itu dibaca dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, syi’ir itu harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan cara membacanya dengan demikian indahnya.
Kemudian syekh Thnathawi melanjutkan: “Wahai anakku, manusia dalam hidup ini membutuhkan riyadhah (latihan), sebagaimana fisik itu harus dilatih, ruh itupun harus dilatih. Orang-orang yang biasa berlatih akan memiliki satu tingkat dari orang-orang yang tidak pernah berlatih”. (Di dalam tarekat ada satu tingkatan yang paling tinggi, yaitu Al Kasyf, yaitu kemampuan mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi orang-orang yang memiliki tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi). Syekh Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang kedudukannya lebih tinggi lagi dari Ahlul Al Kasyf wahai anakku! Kata ustadz Abdul Halim: “Saya kira tidak ada wahai syekh!”.
Dijawab oleh Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi: “Kedudukan mana lagi yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab syekh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih tinggi dari itu adalah kedudukan para rijal yang dibentuk oleh Allah swt dan dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih oleh Allah swt untuk memusnahkan kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api keimanan di dalam hati setiap orang, serta menyebarkan ukhuwwah diantara orang-orang yang beriman, hingga da’wah ini menjadi kuat dan mampu mengangkat nama Allah di atas bumi dan mampu menghadapi orang-orang zhalim yang membuat kerusakan”.
Selanjutnya syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih mereka untuk mengemban-Nya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak kekuatan spiritualnya (tidak bisa jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka lebih tinggi dari Ahlul Kasyf, mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf tidak dapat dipelajari, sedangkan ilmu ahlil hajb dapat dipelajari dan dapat berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga akhir zaman”. Tambah syekh Thanthawi, “termasuk diantara ahlil hajb adalah para rasul, nabi Musa as (ahlul hajb) kedudukannya lebih tinggi dari nabi Khidhir as (ahlul kasyf), sebab nabi Musa as termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan gelar ini, meskipun di dalam Al Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya. Demikian pula dengan nabi Sulaiman as, ketika burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis, berkata nabi Sulaiman: “Siapa yang dapat memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum mereka datang ke sini? Berkata salah satu jin Ifrith: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu”. Berkatalah seseorang yang diberi ilmu kitab, Asyif namanya: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Meskipun ilmu ahli kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding nabi Sulaiman as, akan tetapi kedudukan nabi Sulaiman tetap lebih mulia, sebab dia adalah seorang rasul Allah, sedangkan Asyif tidak”.
Kata syekh Thanthawi: “Diantara ahlul hajb adalah sahabat-sahabat yang besar, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dll. Diantara mereka yang lain adalah kibarul mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya adalah Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadza Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.
Dijawab: “Ya”.
Ditanya lagi: “Bagaimana engkau dapat mengenalnya?”
Jawab Thanthawi: “Ketika aku mendangar namanya disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku duduk bersamanya, aku tanya dia: “Apa yang engkau da’wahkan?”. Sebagaimana banyak orang yang yang pernah aku jumpai dia menjawab: “Aku menda’wahi orang kepada Al Qur’an”. Maka aku katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku bernisbat kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam da’wah Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan rinci tentang da’wah yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan! Kemudian ia menerangkan da’wahnya dan aku dapati da’wahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-Rasul saw”.
Diceritakan pula, ketika Thanthawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan Hasan Al Banna, dia bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir ini, andalah Hakimul Islam, kulihat anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam da’wah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”. Ketika Hasan Al Banna menjawab sungkan, dijawab oleh Thanthawi: “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meledeknya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang pemimpin redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.
Dari apa yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud, kita dapat melihat bahwa Hasan Al Banna adalah orang yang dapat secara akrab menjalin hubungan dengan anggota setiap kelompok masyarakat tanpa membedakan satu dengan lainnya.
Dalam buku ini pula dapat kita saksikan bagaimana kearifan sikap Hasan Al Banna ketika menghadapi Thaha Husain, gembong kerusakan di bidang pemikiran yang membuka cakrawala pemikiran sesat di kalangan para pemikir Islam di belahan dunia, ketika ia menerbitkan buku Mustaqbaluts-Tsaqafah fi Mishr (Masa depan budaya Mesir), yang mendapat sanggahan bertubi-tubi dari berbagai kelompok yang ada di Mesir. Hasan Al Banna sendiri –karena kesibukannya- tidak mempunyai waktu untuk menanggapinya. Beberapa pengikutnya kemudian mengingatkan beliau dan berkata bahwa orang-orang menunggu tanggapan Ikhwanul Muslimin atas buku Thaha Husain itu, karena kedudukan Ikhwanul Muslimin saat itu sudah diperhitungkan di masyarakat. Dijawab oleh Hasan Al Banna bahwa dia sibuk dan tidak sempat membacanya.
Tanpa sepengetahuan Hasan Al Banna, para pengikutnya merencanakan untuk mengadakan semacam bedah buku Thaha Husain itu, dengan beliau sebagai pembahasanya. Lima hari sebelum acara berlangsung, diberitahukan kepadanya mengenai hal ini. Hasan Al Banna berkata terpaksa dia membaca buku itu dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah, sementara ia berada di atas treem. Ia membaca buku itu dan memberi garis bawah bagian-bagian yang penting. Sebelum lima hari buku itu sudah selesai dibaca dan sudah pula dihafalnya. Buku itu tebalnya dua ratus halaman lebih.
Bedah buku itu diselenggarakan di kantor Syubbanul Muslimin, yang menjadi moderator adalah DR. Yahya Ad-Dardiri, sekjen Syubbanul Muslimin dan hadir pada acara bedah buku itu tokoh-tokoh Mesir dari berbagai kalangan.
Hasan Al Banna mengkritik buku itu dengan cara yang unik, dia mengatakan: “Saya tidak akan mengkritik buku ini dengan pendapat saya, tapi saya akan mengkritiknya dengan buku ini sendiri”. Kemudian beliau mengungkapkan bagian-bagian yang kontradiktif dari buku itu, lengkap dengan letak nomor halamannya, sekian dan sekian.
DR. Yahya Ad-Dardiri kemudian menyetop dan mengatakan bahwa dirinya telah membaca buku itu, tapi sepertinya dia tidak menemukan apa yang Hasan Al Banna kemukakan, dan dia meminta kepada Hasan Al Banna untuk mengijinkannya mengecek kebenaran kutipan-kutipan Hasan Al Banna langsung kepada buku itu. Ternyata terbukti, seluruh yang diungkapkan Hasan Al Banna benar adanya.
Dalam acara bedah buku itu sebenarnya Thaha Husain juga hadir, namun ia berada di tempat yang tersembunyi. Sebelum pulang ia mengatakan bahwa ia ingin bertemu dan berdialog dengan Hasan Al Banna. Ia menawarkan tiga tempat; di rumahnya, di kantornya atau di rumah Hasan Al Banna. Adapun waktunya, ia menyerahkannya kepada Hasan Al Banna. (bayangkan! Seorang mustasyar atau penasehat negara, menyerahkan waktu pertemuannya kepada seorang guru SD!).
Akhirnya terjadilah pertemuan di kantor Thoha Husain. Berkata Thoha Husain: “Seandainya di Mesir ini ada tokoh yang paling besar, andalah orangnya, apa yang anda sampaikan tentang buku saya, demikian baik”. Kata Hasan Al Banna: “Al Hamdulillah, adakah hal-hal yang tidak anda setujui?” dijawab oleh Thoha Husain: “Tidak ada, bahkan saya ingin agar pembahasan itu ditambah lagi”.
Kemudian Thaha Husain bertanya: “Apakah ada sikap dan perkataan saya yang tidak anda senangi? Ketahuilah! Selama ini saya berhadapan dengan orang yang tidak mempunyai etika dalam berdebat, ketika mereka menyerang saya, diri saya-pun diserang. Seandainya musuh-musuh saya adalah orang-orang semulia anda, sejak awal saya akan menghormati mereka”.
Hasan Al Banna menjawab: “Anda adalah seseorang yang cukup bangga dengan Barat, akan tetapi sayang, anda tidak mampu membedakan dua hal yang sangat berbeda. Adapun ilmu, itu adalah sesuatu yang terus berkembang, hari ini kita benar, esok hari bisa jadi kita keliru. Akan tetapi agama, dia adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah, jika kita menjadikan agama sebagai ilmu, sama artinya kita merubah agama itu dari hari ke hari, dan jika kita menjadikan ilmu sebagai agama, kita berarti telah membunuh hak ilmu itu untuk berkembang, padahal semestinya kita meletakkan keduanya pada tempatnya masing-masing.
Hal yang lain lagi, kalian –para pengagum Barat- lebih mendahulukan akal daripada wahyu, ketika akal bertabrakan dengan wahyu, kalian mengambil akal dan membuang wahyu”.
Dalam kesempatan dialog itu Hasan Al Banna juga mengkritik polemik yang tejadi antar sesama ummat Islam. Beliau mengatakan kalau seandainya berpolemik ummat Islam mempunyai tenggang rasa sedikit saja, mereka akan bertemu pada satu titik persamaan, akan tetapi sayang, mereka memilih bersikap seperti empat orang buta yang mensifati binatang gajah, yang kata Imam Al Ghozali, masing-masing bersikeras pada pendapatnya yang sebenarnya juz’i. Seandainya mereka memiliki toleransi sedikit saja, mereka bisa bersepakat dalam menilai gajah tersebut dalam bentuknya yang utuh.
Ustadz Abdul Halim mencatat, sejak saat itu Thaha Husain menjadi lebih baik sikapnya. Beliau kemudian memilih untuk mendalami sastra Arab dan mengurangi perannya dalam menyesatkan ummat.
Adapun hubungan Hasan Al Banna dengan para ulama, ketika syekh Abdul yazid datang ke Indonesia, beliau bercerita: “Di Mesir, ada sebuah kota yang bernama Zaqzuq. Ketika Hasan Al Banna hendak melakukan kunjungan ke sana, adalah seorang ulama tarekat terkenal yang memiliki banyak murid. Ia berupaya membuat makar untuk menggagalkan acara kunjungan Hasan Al Banna. Namun karena tanggal kedatangan Hasan Al Banna dirahasiakan, hanya sedikit orang yang tahu, ulama ini tidak mengetahui persis kapan Hasan Al Banna akan datang berkunjung. Pada suatu hari, sang ulama ini dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintunya untuk berkunjung. Ulama itu bertanya: “Siapa?” dijawab: “Saya, Hasan Al Banna”. Maka terkejutlah dia, dengan ‘terpaksa’ ia menjamu Hasan Al Banna. Hasan Al Banna kemudian berkata kepada sang ulama itu: “Adalah satu hal yang tidak pantas bagi saya, ketika saya masuk suatu negeri dengan tidak meminta ijin pada penguasanya”. Sampai saat ini keturunan ulama itu, meskipun tidak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, setiap kali ada kegiatan ikhwan, selalu membantu.
Demikian pula sikap Hasan Al Banna terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ketika Ikhwanul Muslimin mengirim pasukan ke Paletina, Hasan Al Banna mampu mempergunakan Manthiqul Hal dalam berdialog dengan para penguasa maupun tokoh-tokoh lainnya.
Inilah profil Hasan Al Banna. Kita perlu menggali lebih jauh dan dalam lagi. Dalam sejarah, umumnya memang para tokoh-tokoh utama itulah yang muncul secara mengesankan, sehingga mampu memberi warna perjalanan da’wah.
Di zaman Rasulullah saw misalnya, sepeninggal Rasulullah bisa dibilang tidak ada tokoh sehebat beliau yang muncul.
Demikian pula dalam jama’ah ini, yang menurut DR. Al Faruqi, belum ada tokoh sebesar Hasan Al Banna yang muncul, namun kita tetap yakin bahwa :
إِنَّ لِكُلِّ مَرْحَلَةٍ رِجَالُهَا
Sesungguhnya tiap-tiap marhalah itu ada tokohnya.
Pertanyaan kita hari ini:
رِدَّةٌ وَلاَ أَبَا بَكْرٍ لَهَا!
Kalau pada zaman dahulu, ada kemurtadan, dan ada Abu Bakar, sehingga kemurtadan itu sirna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar