Sabtu, 08 Januari 2011

Metode Pengawetan Bahan Pangan Melalui Pengendalian Kadar air


Air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan. Umumnya bahan pangan yang mudah rusak adalah bahan pangan yang mempunyai kandungan air yang tinggi. Air dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Demikian juga air dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam bahan pangan, misalnya reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim. Air yang dibutuhkan untuk terjadinya berbagai reaksi di dalam bahan pangan serta tumbuhnya mikroba adalah air bebas. Air yang terikat kuat secara kimia sulit digunakan mikroba untuk hidupnya. Kandungan air dan aktivitas air pada bahan pangan berperan penting dalam menentukan tingkat stabilitas dan keawetan pangan, baik yang disebabkan oleh reaksi kimia, aktivitas enzim maupun pertumbuhan mikroba. Cara untuk meningkatkan stabilitas dan keawetan pangan adalah dengan melakukan pengendalian a­w, yaitu dengan menurunkan nilai aw pangan hingga berada diluar kisaran dari faktor penyebab kerusakan. Proses pengeringan, penambahan gula, penambahan garam yang bersifat higroskopis adalah beberapa cara untuk menurunkan nilai aw.
·         Pengeringan
Pengeringan merupakan metode untuk mengurangi kadar air dengan suhu tinggi (penguapan) yang bertujuan untuk mengawetkan bahan. Proses utama yang terjadi selama pengeringan adalah tranfer panas dan transfer massa (Desrosier, 1988). Panas ditransfer dari udara pengering, air dimobilisasi keluar untuk kemudian diuapkan. Uap ini selanjutnya diserap udara pengering dan keluar bersama-sama dengan udara bekas pengeringan sehingga selama pengeringan terjadi penyusutan bobot karena adanya air yang menguap tersebut. Selama pengeringan, bahan pangan mengalami penurunan kadar air yang menyebabkan naiknya kadar zat gizi di dalam massa yang tertinggal. Kualitas bahan yang diawetkan tidak pernah lebih baik dari bahan segarnya. Hal ini karena pada pengeringan terjadi perubahan tekstur dan aroma, umumnya vitamin dan zat warna menjadi rusak atau berkurang.
Menurut Earle (1983) beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan adalah sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, kadar air), sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban, kecepatan udara), pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau medium perantara pemindah panas (misal nampan untuk pengeringan), dan karakter alat pengering (efisiensi pemindahan panas).
Aktivitas air (Aw) ini menentukan batas terendah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikrobia. Kebanyakan bakteri tidak tumbuh pada Aw di bawah 0,91 sedangkan jamur pada Aw 0,8 (Buckle, 1987).
Pengeringan dapat dilakukan secara tradisional yaitu dengan sinar matahari maupun dengan bantuan alat pengering. terdapat tiga macam alat pengering yaitu tipe absorbsi atau kotak pemanas dimana produk langsung dipanaskan dengan sinar matahari melalui tutup gelas atau plastik. Alat pengering tidak langsung atau konveksi adalah produk kontak dengan udara panas, lalu alat pengering kombinasi yaitu produk dikenakan langsung pada sinar matahari dan aliran udara panas.
Kelebihan pengawetan makanan dengan pengeringan adalah bobot air yang hilang sekitar 60% hingga 90% dari bobot air semula, ukuran produk pangan yang dikeringkan akan menyusut sehingga lebih mudah dalam pengemasan, dan stabil di dalam penyimpanan (tidak perlu alat pendingin). Namun terdapat beberapa kerugian, yaitu beberapa bahan pangan memiliki kepekaan derajat panas yang berbeda yang apabila tidak dikendalikan dapat merusak pangan tersebut, hilangnya flavor yang mudah menguap (volatil), pigmen memucat, perubahan struktur akibat pengerutan selama air dikeluarkan, serta kemungkinan terjadinya case hardning.
Salah satu contoh aplikasi pengeringan adalah pengeringan ikan. Pengeringanikan bertujuan menambah daya simpan ikan dengan mengurangi kadar air.

Pengeringan ikan dapat mengurangi kadar air sebanyak 80% sampai 10%.  Ikan yang dikeringkan dapat disimpan lama karena kadar airnya berkurang dan sebaiknya menyimpan ikan yang telah dikeringkan tersebut ke dalam tempat yang kering pula. Pangan yang telah dikeringkan mempunyai kecenderungan untuk menyerap air lebih banyak dari lingkungannya.
·        Pengawetan dengan penambahan Garam
Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan-perubahan dalam hal pengolahan dan pengawetan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan bahan mentah yang kemudian diolah didapur. Salah satu bentuk pengolahan makanan untuk pengawetan bahan makanan yang mudah busuk adalah dengan penambahan garam.
Penambahan garam atau Pengasinan (curing) daging adalah suatu proses yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam sodium khlorida dan pengendalian aktivitas air (water activity/aw), diikuti dengan penggunaan garam nitrit yang ditambahkan untuk mempertahankan warna daging dan pengasapan untuk mengendalikan pertumbuhan mikrooorganisme selanjutnya dan mencapai suatu rasa daging asin yang diinginkan. Telah banyak proses-proses tradisional yang dikembangkan untuk memberikan ciri-ciri khas produk tersebut (Buckle et al, 1985).

Pengawasan sebelum penyembelihan ditujukan untuk memperoleh pH akhir yang rendah yang merupakan aspek yang penting bagi semua pengolahan daging secara penggaraman, karena pH 5,8 atau lebih rendah dibutuhkan :
1)    Untuk menghasilkan struktur terbuka dalam urat daging yang meningkatakan penyerapan garam ke dalam jaringan secara lebih cepat dan sempurna.
2)    Untuk membantu mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme baik pada permukaan dan di dalam jaringan dimana bakteri pencemar anaerobik hanya tumbuh secara perlahan pada pH dibawah 5,6.
3)    Untuk membantu mempertahankan warna merah muda yang diinginkan yang dapat dicapai dengan baik bila pH daging dibuat 5,8 atau lebih rendah.

·        Pengawetan dengan Penambahan Gula
Gula mempunyai sifat higroskopis yang disebabkan oleh kemampuannya membentuk ikatan hidrogen dengan air. Bila sebuah kristal gula melarut, molekul-molekul air bergabung secara ikatan hidrogen pada gugus polar molekul gula yang terdapat di permukaan air kristal gula tersebut.  Molekul-molekul air yang semula terikat pada lapisan pertama ternyata tidak dapat bergerak, tetapi selanjutnya molekul-molekul gula akhirnya dikelilingi oleh lapisan air dan melepaskan diri dari kristal ( Winarno, 2004). Hal ini menyebabkan penurunan jumlah air bebas dan penurunan nilai aw, sehingga air tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba.

            Aw rendah menyebabkan sel mikroba menjadi bersifat reversible atau mati. Jika Aw produk diturunkan, maka sel bakteri akan melepaskan air bebasnya untuk mempertahankan kondisi kesetimbangan. Kehilangan air menyebabkan terjadinya plasmolisis sehingga pertumbuhan sel terhambat dan sel bersifat reversible atau  mati. Tetapi, walaupun kondisi Aw yang rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri, ternyata kondisi didalam produk dan kemampuan bakteri untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi stress yang terjadi masih memungkinkan sel-sel bakteri tersebut bertahan selama periode waktu tertentu
     Contoh pengawetan dengan penambahan gula antara lain dalam pembuatan selai, jeli, dan marmalade. Produk ini terdiri dari buah-buahan, pulp buah-buahan, sari buah, atau potong-potongan buah yang diolah menjadi suatu struktur seperti jel berisi buah-buahan, gula, asam, dan pektin. Sifat-sifat yang penting bagi produk ini termasuk kestabilannya tehadap mikroorganisme dan struktur fisiknya. Stabilitas mikroorganisme dari selai dan produk-produk serupa dikendalikan oleh sejumlah faktor, antara lain:
4)    Kadar gula yang tinggi biasanya dalam kisaran padatan terlarut antara 65-70%
5)    pH rendah biasanya dalam kisaran 3,1 - 3,5 tergantung dari tipe pektin dan konsentrasi gula yang digunakan
6)    Aw biasanya dalam kisaran 0,75 – 0,83
7)    Suhu tinggi dalam pendidihan atau pemasakan (105 - 1060C)
8)    Tegangan oksidasi rendah pada penyimpanan (misalnya jika diisikan kedalam wadah-wadah hermatik dalam keadaan panas)
(Buckle, 1987)
b.    Pengendalian Kerusakan oleh Mikroorganisme
Konsentrasi garam yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan pencemar daging, tidak mempunyai batasan yang pasti, sebab hal itu banyak tergantung pada faktor-faktor lain dalam lingkungan, yaiutu pH dan suhu. Garam menjadi penghambat yang efektif pada suhu yang lebih rendah dan kondisi yang lebih asam.
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa penghambatan terhadap mikroorganisme dengan garam tergantung pada kandungan garam pada fase cair, dan tidak ada kandungan garam keseluruhan pada produk yang diasinkan. Fase cair terdiri dari air dan garam yang larut dan konsentrasi garam pada fase ini jelas lebih tinggi daripada kandungan garam dari daging secara keseluruhan.
Secara umum telah diketahui bahwa organisme perusak yang dominan pada daging segar dalah Achromobacter dan Pseudomonas yang terhambat oleh konsentrasi garam yang lebih dari 6% pada fase cair. Sebaliknya banyak bakteri yang tahan garam dapat tumbuh sampai pada konsentrasi garam mendekati jenuh. Banyak jamur yang juga dapat tahan terhadap konsentrasi tinggi. Sesuai dengan hal ini, maka dengan menyesuaikan konsentrasi dalam fase cair pada tingkat 6-10%, kita dapat menggunakan garam sebagai penghambat selektif terhadap bakteri proteolitik, tetapi disamping itu juga membiarkan berkembangnya flora yang tahan garam. Dalam proses-proses pengasinan tradisional, flora yang tahan garam ini dibiarkan berkembang di dalam garam pengasin untuk mengurangi perubahan nitrat menjadi nitrit yang penting untuk menekan perkembangan organsime perusak anaerobik. Akan tetapi, fungsi utamanya adalah untuk mencapai pengaturan warna pada produk yang diasin.
Kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa hal. Di antaranya:
·       Konsentrasi garam
Semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin cepat proses masuknya garam ke dalam daging. Akan lebih baik apabila digunakan garam kristal untuk mengasinkan.
·       Jenis garam
Garam dapur murni (NaCl 95%) lebih mudah diserap dan menghasilkan ikan asin dengan kualitas yang lebih baik. Garam rakyat mengandung unsur-unsur lain (Mg, Ca, senyawa sulfat), kotoran, bakteri dan lain-lain yang dapat menghambat penetrasi garam dan merusak rasa.
·       Ketebalan daging
Semakin tebal daging, proses pengasinan akan membutuhkan waktu yang semakin lama dan garam yang lebih banyak. Sehingga ikan-ikan besar biasanya dibelah-belah, dikeping atau diiris tipis sebelum diasinkan.
·       Kadar lemak dalam daging
Kadar lemak yang tinggi (di atas 2%) akan memperlambat penetrasi garam ke dalam daging.
·       Kesegaran daging
Daging yang kurang segar memiliki daging yang lebih lunak dan cairan tubuh yang mudah keluar, sehingga proses pengasinan bisa lebih cepat. Namun juga garam yang masuk dapat terlalu banyak sehingga daging menjadi terlalu asin dan kaku.
·       Suhu daging
Semakin tinggi suhu daging, semakin cepat garam masuk ke dalam daging.
Prosedur Pengasinan
Pengasinan daging dapat dilaksanakan dengan bermacam-macam prosedur tetapi pada dasarnya cara-cara itu dibedakan menjadi proses pengasinan kerig dan basah.
Pengasinan kering adalah cara yang lebih tua yang sesuai dengan seni tradisional yang terdiri dari atas langkah-langkah berikut :
1)   Kantung bahu dari bagian karkas diisi dengan garam dan sisinya disikat dengan air garam yang mengandung NaCl 26%, KNO3 5%, NaNO2 0,1% dan sukrosa 0,5-1%.
2)   Bagian sisi ditumpuk dalam 8 sampai 10 buah tumpukan, dan masing-masing sisi diperciki sedikit NaNO2  dan kemudian tumpukan itu ditutupi dengan garam dalam suatu wadah terbuka yang sesuai. Perbandingan antara NaCl dan KNO3 adalah 40:1.
3)   Bagian sisi itu dibiarkan dalam timbunan selama 5-10 hari. Selama penyimpanan akan terbentuk air garam di sekitar tulang-tulang rusuk.
4)   Timbunan itu kemudian dipecah dan ditimbun kembali, sesudah membalik masing-masing sisi selama 12 hari lagi.
5)   Daging kemudian diambil, dicuci bagian luarnya dan siap untuk diasap.
Pengasinan basah atau pengasinan tangki adalah proses odern yang lebih disukai karena mudahnya pengawasan, resiko kerusakannya lebih kecil dan juga kehilangan beratnya lebih sedikit. Proses ini berlangsung sebagai berikut:
1)   Bagian sisi ditimbun sebanyak 10-12 timbunan ke dalam tangki yang terbuat dari beton yang berparafin atau kayu tertutup (wadah yang kedua ini sebenarnya kurang cocok) untuk mencapai perbandingan daging air garam sebanyak 1:1
2)   Selama penimbunan sisi-sisi itu diperciki dengan garam dan nitrat dengan perbandingan 10:1 dengan menggunakan 100 g dari campuran untuk setiap sisi.
3)   Sisi itu kemudian ditekan kebawah, kemudian ditutup selama 10-20 hari dengan bahan pengasin yang terdiri atas NaCl 26%, KNO3 2-4 %, dan NaNO2 0,1%. Bahan pengasin ini membantu tumbuhnya mikroflora tahan garam yang mereduksi nitrat menjadi nitrit dan komposisinya dibatasi sebagai : SG 1,18 - 1, 20 (specific gravity/ SG = berat jenis), NaCl 24%, KNO3 1,5%, NaNO2 0,3%. Volume bahan pengasin bertambah 5% pada setiap kali pemakain karena adanya penarikan air secara osmose dari sisi-sisi tersebut. Pengendalian organisme anaerobik dapat dicapai dengan penggunaan kembali baha pengasin setelah diasring melalui pipa penyemprot (spray nozzle).
                 Baik dalam proses pengasinan kering maupun basah dapat diperoleh keuntungan waktu dan mutu produk dengan proses pemompaan sebelum permulaan pengasinan. Dengan proses ini, terjadi pemasukan bahan pengasin kedalam sisi-sisi daging. Komposisinya bahan pengasin “pompa” serupa dengan bahan pengasin “tangki”, dan proses ini mempergunakan jarum berongga dan tekanan udara 75-80 psi. Dua sisten yang dapat diperguakan adalah:
1)   Pemompaan nadi, dimana diberikan satu suntikan kedalam urat nadi paha, dan distribusi bahan pengasin dibiarkan pada urat darah.
2)   Penyuntikan, biasanya 18-25 kali kesemua bagian tak berlemak (lean) dari pada sisi-sisi tersebut.
                 Bila pengasinan selesai, produk jadi dapat dimatangkan selama 7 hari dengan disimpan pada suhu 50C. Hai ini memungkinkan pengedaran/pendistribusian garam pengasin dengan lebih seragam. Baru kemudian sisi-sisi itu siap auntuk di asap.
Produk-produk Daging Asin
                 Berbagai produk daging asin dapat diperoleh dari daging yang diawetkan dengan garam dan daging asap. Produk seperti frankfurt, saveloys, bologna, sosis kering, roti daging (meat loaves), luncheon meat, pasta daging (meat paste) dan produk-produk lain yang diasin dan dipotong kecil-kecil, dapat  disiapkan dengan prosese dimana pengasinan merupakan hasil pengolahan lanjut dari bahan-bahan yang sudah diasin dan diasap.   

3 komentar: